Archive for September, 2008

Hari raya Islam, merayakan apa?

Umat Islam sebentar lagi merayakan Idhul Adha yang disebut juga Idhul Qurban atau juga hariraya haji. Ied artinya perayaan tentunya ada yang dirayakan. Lalu kita merayakan apa?

Kita mengucapkan selamat idhul fitri mohon maaf lahir dan batin tapi saat idhul adha adakah diantara kita yang saling mengucapkan? Kenapa ada pilih kasih diantara kedua hari raya tersebut? Apakah ini bukan karena budaya latah atau tradisi yang diusung mengatas namakan Islam? Apakah ini artinya kita mengada-adakan hal yang baru (bid’ah)?

Sebelum Rasulullah SAW ke Madinah, masyarakat di sana memiliki dua hari raya yang dirayakan secara beramai-ramai dengan bermain-main lalu ketika Rasulullah SAW datang diadakan perubahan. Sesungguhnya Allah SWT telah mengganti dua hariraya kamu dengan dua hariraya yang lebih baik yaitu idhul fitri dan idhul adha. (HR Abu Dawud dan Nasai dengan sanad yang shohih)

Pada kondisi tersebut Rasulullah tidak serta melarang apa yang telah dilakukan oleh masyarakat dengan membubarkannya tapi mengganti. Jadi yang dilakukan Rasulullah SAW tidak sekedar melarang tapi memberi solusi dan alternatif sehingga mudah diikuti.

Mungkin itu pula yang dilakukan para wali di Indonesia ketika ada orang meninggal, maka banyak yang kumpul-kumpul sampai tujuh hari yang kadang digunakan untuk membicarakan yang tidak baik bahkan ada yang bermain judi. Para wali kemudian mengajak mereka berdzikir bersama yang kemudian oleh masyarakat Jawa disebut tahlilan.

Dalam Islam sebenarnya ada tiga hari raya yaitu: fitri, adha dan jum’at.

Hari Jum’at

Hari Jum’at merupakan hariraya bagi umat Islam yang telah melakukan ibadah shalat (ibadah utama setelah syahadat) selama satu minggu. Pada hari Jum’at juga diciptakan nabi Adam a.s. dan hari beliau diturunkan dari syurga. Kiamat juga tejadi pada hari Jum’at. Karena merupakan hari raya maka kita dilarang berpuasa sunat khusus haru Jum’at.

Hari Jum’at merupakan hari yang istimewa bagi umat Islam diantaranya karena:

  1. Diampuni dosa-dosa dalam sepekan

Dari Abu hirairah r.a. dia berkata: rasulullah SAW bersabda: ”barang siapa mandi kemudian mendatangi shalat Jum’at, kemudian melakukan shalat semampunya, kemudian diam mendengarkan khotbah sampai imam menyelesaikan khotbahnya, kemudian melakukan shalat bersama imam, maka diampuni dosa-dosanya yang terjadi antara dia dengan Jum’at yang lain beserta tiga hari berikutnya.” (HR Muslim).

  1. Dikabulkan do’a

Dari Dia r.a. bahwasanya Rasulullah SAW menyebut hari Jum’at lalu beliau bersabda: ”Di dalam hari itu ada saat bila seseorang Muslim tengah melakukan shalat minta sesuatu pada Allah, ia akan diberi oleh Allah. Beliau memberi isyarat dengan tangannya. (Dalam riwayat Muslim: ia saat yang sangat pendek).

Dari Abu dardah, dari ayahnya r.a. dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’Ia (saat mustajab) antara imam duduk sampai shalat Jum’at dilakukan (HR Muslim).

Dalam Hadits Abdullah bin Salam menurut riwayat Ibnu Majah dari jabir dalam riwayat Abu Dawud dan Nasai, bahwasanya saat tersebut antara shalat ashar dan terbenamnya matahari.

Idhul Fitri

Dilakukan setelah puasa Ramadhan (Rukun Islam setelah shalat). Dilakukan setahun sekali sebagai bentuk syukur dan bertakbir setelah menjalankan puasa satu bulan penuh. Bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an dan ada malam seribu bulan

Idhul Adha

Dilakukan setahun sekali bersamaan dengan ibadah haji. Inti haji adalah Arafah. Ada apa dengan Arafah?.

Menurut Umar pada saat Rasulullah SAW melakukan haji wada’ pada tahun 10 H maka wukuf bertepatan pada hari Jum’at dan turunlah ayat Al Maidah ayat 3: ”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang”

Ayat ini turun setelah Ashar. Haji wada’ diikuti lebih dari 100.000 sahabat yang ingin mengetahui secara langsung cara ibdaha haji Rasulullah SAW. Saat wukuf tersebut Rasulullah SAW duduk di atas ontanya dan ketika menerima wahyu ini onta tersebut tidak kuat dan terduduk.

Pada idhul Adha juga dilaksaanakan Qurban sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Awal Al Maidah ayat 3 adalah tentang binatang yang boleh dimakan. Qurban juga berkait dengan binatang. Qurban merupakan syariat ajaran Nabi Ibrahim dan Muhammad.

Marilah kita rayakan hari raya umat Islam dengan syariat Islam bukan karena budaya dan sebagainya agar Islam yang kita pahami adalah Islam yang telah sempurna yang tidak kita tambah-tambahi. Jika kita menambahi pada dasarnya kita menganggap Islam belum sempurna dan kita mengingkari ayat ini. Akankah itu kita lakukan?

September 26, 2008 at 7:59 am Tinggalkan komentar

Manasik Haji dan Umrah Praktis

Oleh: Abdullah Shaleh Al-Hadrami

Segala puji hanya bagi Allah, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan pengikut mereka yang setia sampai hari kiamat, Amma ba?du:

Dari Abu AbdirRahman Abdullah ibnu Umar ibnul Khaththab -Radhiallahu ?Anhuma berkata: ?Aku telah mendengar Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda:

?Islam dibangun diatas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji.? (HR. Bukhari dan Muslim).

Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan haji ke Baitullah Al-Haram bagi yang mampu.

Yang dimaksud menunaikan haji adalah beribadah kepada Allah dengan pergi ke Baitullah Al-Haram Makkah untuk melaksanakan amalan-amalan manasik haji.

Buah yang kita dapatkan dari menunaikan haji adalah: Melatih jiwa untuk mengorbankan harta, waktu dan tenaga demi ketaatan kepada Allah. Oleh sebab itu haji adalah bagian dari jihad fi sabilillah.

Haji Tamattu? adalah Yang Paling Afdhal

Haji tamattu? (umrah, haji dan terkena kurban / hadiyy) adalah ibadah haji yang paling afdhal dan diperintahkan oleh Rasulullah ?Shallallaahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam.

Manasik Praktis Ibadah Haji Tamattu?:

Umrah Sebelum Haji Pada Bulan-Bulan Haji

Melaksanakan ibadah umrah pada bulan-bulan haji, yaitu:
1. Ihram dari miqat.
2. Thawaf Qudum.
3. Sa?i.
4. Memendekkan atau mencukur rambut bagi laki-laki dan wanita cukup memotong seruas ujung jari dari beberapa sisi rambut kepalanya.
5. Tahallul.
Setelah itu tetap dalam keadaan halal (tidak ihram) sampai hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah).

Amalan Haji Pada 8 Dzul Hijjah:

1. Ihram haji dari tempatnya masing-masing di Mekkah.

2. Pergi ke Mina dan tinggal di sana sampai Matahari terbit tanggal 9 Dzul Hijjah. (Shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, ?Isya? dan Subuh di Mina dengan Qashar (diringkas yang empat raka?at menjadi dua raka?at) dan tanpa dijama? (masing-masing dikerjakan pada waktunya).

Amalan Haji Pada 9 Dzul Hijjah:

1. Setelah Matahari terbit pergi ke Arafah.

2. Shalat Dhuhur dan Ashar di Arafah dengan Jama? dan Qashar (taqdim), sekali adzan dan dua kali iqamat.

3. Wukuf di Arafah dengan memperbanyak doa dan dzikir sampai Matahari terbenam.

4. Setelah Matahari terbenam berangkat ke Muzdalifah (Shalat Maghrib dan ?Isya? di Muzdalifah dengan Jama? dan Qashar (ta?khir), sekali adzan dan dua kali iqamat).

5. Mabit atau menginap di Muzdalifah. (Bagi orang-orang lemah dan para wanita atau yang menyertai mereka boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat kebanyakan malam).

6. Shalat Subuh di Muzdalifah kemudian memperbanyak berdoa dan berdzikir sampai langit terang.

7. Sebelum Matahari terbit pergi ke Mina.

Amalan Haji Pada 10 Dzul Hijjah:

1. Sesampai di Mina langsung melempar Jumrah Aqabah.

2. Menyembelih Hadiyy (Kurban).

3. Mencukur rambut atau memendekkannya bagi laki-laki dan wanita cukup memotong seruas ujung jari dari beberapa sisi rambut kepalanya. Dengan demikian telah tahallul awwal dan boleh mengenakan pakaian biasa dan melakukan larangan ihram lainnya selain hubungan suami isteri (jima?).

4. Pergi ke Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah dan sa?i haji. Dengan demikian telah tahallul tsani dan boleh hubungan suami isteri (jima?).

5. Kembali ke Mina untuk mabit (menginap) malam sebelas.

Amalan Haji Pada 11 Dzul Hijjah:

1. Melempar ketiga jumrah (Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah) setelah Matahari tergelincir .

2. Berdiri untuk berdoa setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha saja.

3. Mabit (menginap) di Mina malam dua belas.

Amalan Haji Pada 12 Dzul Hijjah:

1. Melempar ketiga jumrah (Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah) setelah Matahari tergelincir .

2. Berdiri untuk berdoa setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha saja.

3. Boleh meninggalkan Mina sebelum Matahari terbenam (nafar awwal) atau menginap lagi di Mina malam tiga belas (nafar tsani).

Amalan Haji Pada 13 Dzul Hijjah:

1. Melempar ketiga jumrah (Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah) setelah Matahari tergelincir .

2. Berdiri untuk berdoa setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha saja.

3. Pergi meninggalkan Mina.

(Amalan pada 13 Dzul Hijjah ini khusus untuk nafar tsani saja).

Amalan Haji terakhir adalah thawaf wada? sebelum meninggalkan Mekkah untuk pulang ke tanah air. Semoga Bermanfaat dan Menjadi Haji Mabrur, Amien…www.hatibening.com

September 26, 2008 at 7:57 am Tinggalkan komentar

Sumpah dan Amanah

“Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim). Entah kenapa setiap mendengar kata “Demi Allah’, jiwa ini selalu bergetar.

Tidak mengherankan, karena sumpah adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan, apalagi garansinya dikaitkan dengan nama Allah Yang Mahaagung. Sayangnya, kita masih melihat orang yang begitu mudah mengucapkan sumpah, dan begitu mudah pula mengkhianatinya. Demikian pula yang terjadi di negara kita, seorang pejabat terlihat begitu mudah melakukan penyelewengan padahal sebelum diamanahi suatu tugas ia disumpah terlebih dulu. Sebuah sumpah bisa mengandung banyak konsekuensi. Karena itu, kegigihan untuk memenuhi janji adalah sebuah kehormatan.

Sebaliknya kegagalan memenuhi janji dengan disengaja tentunya menunjukkan tanda kemunafikan kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berjanji dan bersumpah. Sumpah yang tergolong berat adalah sumpah jabatan. Kita sering mendengar bagaimana para pejabat disumpah untuk tidak menerima apapun yang tidak sah berkaitan dengan jabatannya. Bila ia tidak serius mengamalkan sumpahnya tersebut, maka ia dikategorikan seorang pengkhianat. Hal lain adalah sumpah yang sering diucapkan tatkala pernikahan. Karena itu, berjuanglah sekuat tenaga untuk menjaga kualitas akad kita tersebut.

Begitu pula dengan iklan. Sumpah yang diucapkan bisa dikategorikan palsu tatkala apa yang didengungkan tidak sesuai dengan kualitas produk sebenarnya. Bila kita menjadi pelakunya, kita sesungguhnya telah menipu pembeli dan sekali-kali untung yang diperoleh tidak akan berkah. Saudaraku, alangkah baiknya apabila kita tidak mudah mengobral sumpah dan janji, karena semua itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah Hadisnya Rasulullah SAW mengungkapkan tiga ciri orang munafik. Pertama, bila berbicara selalu dusta. Kedua, kalau berjanji selalu mengingkari. Dan ketiga, kalau diberi amanat ia khianat.

Kalau kita ingin tahu siapa diri kita, caranya mudah sekali! Berapa banyak dusta yang keluar dari mulut kita, berapa banyak tipu muslihat yang keluar dari mulut kita. Hati-hati saudaraku jangan sampai kita menjadi seorang pendusta. Berkaitan dengan ciri kemunafikan yang pertama. Kita harus berhati-hati terhadap dusta termasuk yang kecil sekalipun. Jangan sampai untuk bergurau saja kita berdusta, untuk menceritakan film saja kita berdusta agar terlihat lebih seru. Atau sedang ceramah, supaya kita terihat lebih pandai. ”Di dalam kita anu disebutkan…” Padahal kita tidak tahu isi kitab tersebut. Saudaraku hindarilah dusta sekecil apapun, walau hanya pada anak kecil.

Jagalah diri kita dari sikap munafik. Karena sekali saja orang mengetahui kita berdusta, akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan kepercayaan dan citra diri kita. Kedua berkaitan dengan janji. Bertanyalah selalu pada diri sebelum berjanji. Sanggupkah saya memenuhi janji ini? Siapkah saya menanggung konsekuensi dari janji yang diucapkan? Kita harus berhati-hati kala berjanji. Manakala sedang berhutang dan belum sanggup membayar, ungkapkanlah keadaan kita yang sebenarnya dan siap menaggungung risiko.

Jangan sampai kita berjanji dan terus berjanji tanpa bisa melunasi. Begitu pula saat kita dilanda asmara. Biasanya, orang yang sedang dilanda asmara sering mengobral janji. Sahabat, walaupun diungkapkan dengan nada bergurau, janji tetaplah janji. Kita harus berusaha menepatinya walaupun kita harus mengorbankan banyak hal. Teladanilah Rasulullah SAW. Beliau pernah menunggu orang hingga tiga hari lamanya hanya untuk menepati sebuah janji. Ciri orang munafik yang ketiga adalah khianat tatkala diberi amanat.

Amanat di sini cakupannya sangat luas. Anak adalah amanat bagi orang tua. Istri adalah amanat bagi suami. Begitu pula dengan ilmu, kekayaan, maupun jabatan dan kekuasaan. Semuanya adalah amanat yang harus dijaga dan ditunaikan dengan baik. Suatu kali seseorang pernah menasihati saya, “Aa, jangan sampai tergiur oleh kekuasaan, karena kekuasaan itu manis sekali rasanya tapi menghancurkan. Kalau orang sudah duduk dalam singgasana kekuasaan, ia akan ‘susah’ turun karena empuknya kursi kekuasaan itu. Bagaimana tidak, ia dilayani dan dihormati secara duniawi. Karena itu, tidak semua orang bisa keluar dari lingkaran kekuasaan”.

Kekuasaan yang tidak terkendali biasanya akan berujung pada terbukanya aib diri. Betapa banyak orang yang sebelum berkuasa namanya dikenal baik, tapi setelah berkuasa ia dikutuk banyak orang karena tidak amanat. Saudaraku, hati-hatilah dengan yang namanya amanat kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk. Yang buruk adalah tipu daya kekuasaan yang akan membuat orang terlena dan menjadi tidak amanat. Inilah yang membuat orang mengutuk dan mencaci seorang penguasa. Walaupun demikian, banyak orang yang derajatnya semakin baik setelah ia berkuasa.

Lihatlah bagaimana para khalifah pengganti Rasulullah SAW dan juga Umar bin Abdul Aziz. Walau mereka berkuasa hanya sebentar, tapi namanya tetap harum hingga sekarang. Apa kuncinya? Mereka mengemban kekuasaan dengan sikap amanat. Sayangnya, sekarang timbul kecenderungan semakin lama seseorang berkuasa, maka ia akan semakin dikutuk dan dibenci. Karena itu, bila kita mendapatkan sebuah jabatan dalam level apapun kita jangan berbangga hati dulu, karena jabatan bisa menghinakan. Kita layak berbangga bahkan sujud syukur tatkala kita mampu menjalankan kekuasaan dengan amanat. Wallahu a’lam bish-shawab.

September 26, 2008 at 6:37 am Tinggalkan komentar

Saat Bicara dan Saat Menahan Diri

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Apa yang akan terjadi apabila orang yang sedang dilanda emosi kita debat atau lebih halus dari itu, kita nasihati? Alih-alih meredakannya, yang lebih mungkin terjadi adalah ibarat menyiramkan bensin ke api. Bukannya mereda, amarahnya malah akan semakin membara dan membakar segala-gala.

Mengapa demikian? Orang yang sedang marah jelas cenderung tidak siap menerima nasihat atau mendengar pendapat yang berseberangan dengan apa-apa yang menjadi unek-uneknya. Mentalnya saat itu tentu lebih disiapkan untuk memuaskan segala yang sedang bergolak di dalam dadanya.

Adapun tindakan yang paling pantas kita lakukan dalam keadaan demikian adalah berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan diri. Ya, kalaupun harus berucap, maka ucapan seperti, “Ya, saya maklum” atau “Saya dapat memahami perasaan Anda” akan jauh lebih maslahat dan dapat sangat efektif meredakan emosinya ketimbang nasihat atau kata-kata kebenaran yang salah pasang.

Dengan demikian, dalam ikhtiar membermutukan lisan, setelah faktor keikhlasan sebagai kata kunci utama (baca “Lisan yang Bermutu”), faktor tujuan dan apa yang dikatakan harus sesuai kenyataan, sesungguhnya ada satu lagi faktor yang jangan sekali-kali diabaikan, yakni waktu atau momentum yang tepat. Artinya, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah waktu dan kondisi, sehingga sesuai dengan keadaan yang membutuhkannya. Pendek kata, pilihlah kata-kata terbaik, waktu terbaik, dan tempat terbaik agar kata-kata kita membawa hasil terbaik pula.

Ketahuilah, sebelum berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah telontar dari lisan, justru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian sehari-hari yang bisa membuktikan semua ini.

Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang beberapa pelajar SMA yang terlibat pergaulan bebas dengan sesama teman sebayanya. Biasanya mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, “Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidakbecusan para orang tuanya dalam mendidik anak-anaknya sendiri.” Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, tidak bisa tidak, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orang tua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai.

Nah, bila kita acap atau kerap kali senang menggelincirkan lisan ini ke dalam perbuatan-perbuatan demikian, pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah, mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, padahal kita mungkin tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?

Subhanallah! Siapa pun yang ingin memiliki lisan yang bermutu serta kata-kata yang mengandung kekuatan dahsyat untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, satu hal yang harus direnungkan, yakni bahwa kekuatan terbesar dari kata-kata kita adalah harus membuat orang senantiasa mendapatkan manfaat dari apa pun yang kita ucapkan.

Kalau hanya bicara, padahal kita sendiri tidak tahu akan membawa manfaat atau tidak, sebaiknya diam saja. “Falyaqul khairan aw liyaskut!” demikian sabda Rasulullah saw. Hendaklah berkata yang baik atau diam! Berkata itu bagus dan boleh boleh saja, namun diam itu jauh lebih bagus kalau toh kata-kata yang kita ucapkan akan tidak membawa manfaat.

Kalaupun kita memandang perlu untuk berkata-kata-kata, sebaiknya berikan yang terbaik kepada orang yang mendengarkannya, kata-kata yang paling indah, paling tulus, paling bersih dari segala niat, dan motivasi yang tidak lurus.

Karenanya, usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi jalan hidup serta tumbuhnya motivasi, kehendak, ataupun tekad seseorang.

Hanya empat hal dari kata-kata yang paling tinggi nilai dan mutu-nya, yang seyogianya keluar dari lisan kita. Pertama, ketika mendapat karunia nikmat, suruhlah lisan ini bersyukur kepada Allah. Kedua, ketika ditimpa ditimpa musibah, segera suruh mulut ini untuk bersabar, inna lillaahi wa inna ilayhi raaji`uun. Ketiga, ketika mendapat taufik dari Allah berupa kemampuan beribadah yang lebih baik daripada yang bisa dilakukan orang lain, suruh mulut ini berkata bahwa semua kemampuan ibadah kita adalah semata-mata berkat karunia dari Allah Azza wa Jalla. Keempat, ketika kita tergelincir berbuat dosa, lekas-lekas suruh lisan ini ber-istighfar memohon ampunan kepada Allah. Dan selebihnya adalah sikap hati-hati setiap kali lisan kita hendak berkata-kata.

Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Sebab, jangankan menyampaikan nasihat, bukankah untuk bertanya saja dalam ajaran Islam demikian tinggi adabnya.

Misalnya, terhadap seseorang yang kita tahu suka melaksanakan saum sunnah, kita bertanya, “Mas, Anda sedang saum?” Padahal di sekelingnya sedang banyak orang. Ini kan pertanyaan yang berat. Betapa tidak? Kalau orang tersebut menjawab, “Ya, saya saum”, hatinya mungkin bisa tergores-gores karena kekhawatirannya berbuat riya. Kalau ia menjawab tidak saum, berarti dusta dan itu dosa sekaligus bisa menghilangkan pahala saumnya. Kalau memilih diam saja, bisa-bisa dianggap sombong. Demikian pula kalau hendak berdiplomasi saja, minimal ia akan kerepotan untuk mencari kata-kata yang tepat. Ini berarti pertanyaan kita membebani batin orang dan sekaligus mubazir.

Oleh sebab itu, tidak heran kalau para ulama dan orang-orang yang saleh serta berkedudukan di sisi Allah sangat hemat dengan kata-kata. Kendati, mungkin ilmunya sangat luas, pemahamannya begitu dalam dan jembar, hafal seluruh surat Alquran dan ribuan hadis Nabi, telah menyusun berpuluh-puluh kitab yang monumental, ibadahnya begitu dahsyat, sementara akhlaknya pun demikian cemerlang.

Semua itu karena mereka sangat yakin bahwa kesia-siaan dalam berkata-kata pastilah akan mengundang setan dan niscaya pula akan menyeretnya ke dalam jurang neraka Saqar (Q.S. Mudatstsir: 45).

Walhasil, marilah kita tata lisan yang cuma satu-satunya ini. Percayalah, diam itu emas. Orang yang sanggup memelihara lisannya akan lebih kuat wibawanya daripada orang yang gemar menghambur-hamburkan kata-kata, tetapi kosong makna.

Berusahalah senantiasa agar kata-kata yang kita ucapkan benar-benar bersih dari penambahan-penambahan dan rekayasa yang tiada artinya. Ukurlah selalu, di mana, kapan, dan dengan siapa kita berbicara agar setiap kata yang terucap benar-benar bermutu dan tinggi maknanya.

Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menyaksikan segala-gala senantiasa menolong kita agar selalu sadar bahwa rahasia kekuatan lisan yang bisa menggugah dan mengubah orang lain itu, berawal dari hati yang tulus ikhlas. Tidak rindu apa pun dari yang kita katakan, kecuali rindu kemuliaan bagi yang mendengarkannya, rindu demi senantiasa mulia dan tegaknya agama Allah, serta rindu agar segala yang kita ucapkan menjadi ladang amal saleh untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Insya Allah!

September 26, 2008 at 6:34 am Tinggalkan komentar

Pemimpin Sejati

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Saudaraku yang baik. Rahasia kekuatan pemimpin adalah suri tauladan. Ketika Rasul mengajak jihad, beliau itu bertempur paling depan, bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasul menyuruh bertahajud, kakinya sampai bengkak karena salat. Ketika Rasul menyuruh sahum, sampai perutnya diganjal dengan batu. Ketika Rasul menyuruh orang berakhlak mulia, beliaulah yang akhlaknya paling mulia. Untuk mewujudkannya diperlukan kesadaran hati untuk melakukannya terlebih dahulu. Dalam konteks di atas, dijelaskan bahwa Rasulullah sebelum memerintahkan untuk jihad, maka dia memimpin jihad, sebelum dia memerintahkan sedekah maka dia terlebih dahulu bersedekah, sebelum dia memerintahkan salat dan puasa dia lebih dahulu melakukannya.

Dengan demikian jika suatu negara atau bangsa bahkan agama, mengharapkan masyarakat juga adanya perubahan kearah yang lebih baik, maka salah satunya pigur pemimpin yang berakhlak mulia atau yang bisa menjadi suri tauladan pada masyarakatnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Demikian Sabda Nabi. Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.

Pemimpin suatu kaum yakni pemimpin yang melayani dengan tulus kaumnya. Inilah yang senantiasa akan bersemayam cinta di hati orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang karirnya akan selalu mulia dan terhormat adalah pemimpin yang bersyukur. Siapakah pemimpin yang bersyukur ? yakni pemimpin yang sadar bahwa kepemimpinan bukan tanda kemuliaan, tapi kepemimpinan adalah amanah dari Alloh.Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang menjadikan dirinya kuburan bagi aib orang lain, bukan orang yang sering membeberkan kekurangan orang yang dipimpinnya. Semakin banyak membeberkan rahasia dan kekurangan orang lain, semakin jatuh pula kredibilitasnya. Pemimpin yang amanah bisa dilihat dari kehati-hatiannya berjanji, sedikit janjinya, tetapi selalu ditepati. Pemimpin yang amanah akan bertanggung jawab terhadap perkara sekecil apapun. Setiap berkata benar-benar tidak ada keraguan, tidak meremehkan waktu walau sedetikpun.

Seorang pemimpin yang bersyukur selalu berjuang agar dirinya menjadi suri tauladan. Seorang pemimpin yang bersyukur akan berjuang sekuat tenaga untuk membuat orang yang dipimpinnya mengenal Alloh dan mengenal kebenaran. Pemimpin yang bersyukur tidak hanya sukses di kantor, tapi juga harus sukses di rumah. Tidak sedikit para pemimpin yang mampu mengatur sistem, kantor, atau perusahaan dengan baik, tetapi tidak berhasil membangun keluarganya dengan baik. Seorang pemimpin yang bersyukur akan memfasilitasi orang-orang yang dipimpinnya agar bisa hidup taat dalam kebenaran. Pemimpin sejati berkorban lahir bathin, siang dan malam untuk membuat orang yang dipimpinnya benar-benar memiliki kemuliaan dan kesejahteraan, tidak hanya untuk urusan dunia tapi juga untuk urusan akherat.Wallahu a’lam

September 26, 2008 at 6:30 am Tinggalkan komentar

Membiasakan Shalat Berjamaah

Oleh : Abdullah Gymnastiar

Allah SWT menekankan hamba-Nya untuk shalat berjamaah. Dalam firman-Nya “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”. Anjuran Allah tersebut bukan hanya mendirikan shalat, tapi juga anjuran shalat berjamaah dengan sarana masjid.

Allah memberikan perumpamaan bagi yang datang ke masjid lebih awal, sebelum adzan berkumandang, dengan matahari. Bagi yang menuju ke masjid dalam keadaan adzan dengan bulan, dan yang datang ke masjid setelah adzan dengan bintang. Jika dilihat dari segi cahayanya, tentu sinar matahari lebih bercahaya daripada bulan atau bintang. Namun, tak sedikit yang menyadarinya sehingga nyaman shalat sendiri.

Enggan melangkahkan kaki ke masjid bisa jadi karena penyakit malas. Malas mengayunkan kaki pergi ke masjid. Malas menanggalkan aktivitas yang dirasa lebih penting. Malas kelihatan hebat, bisa menaklukan jutaan orang. Padahal malas tak ubahnya seperti tripleks yang mudah rapuh kena hujan dan panas, serta mudah didobrak.

Malas hanya dapat dikalahkan dengan melawannya. Ingat, dobrakan itu hanya di awal saja. Pada awal mungkin kita merasa kesulitan pergi ke masjid, tetapi setelah satu kaki diayunkan, itu awal keberhasilan menaklukan malas. Begituhalnya ketika adzan berkumadang dalam keadaan bekerja. Keinginan untuk meneruskan pekerjaan begitu menggebu. Terasa sayang jika harus di jeda. Namun, jika seketika kita sanggup menghentikannya, kita telah berhasil memenuhi panggilan-Nya.

Penyebab lain, karena tidak tahu keutamaan berjamaah. Padahal dengan berjamaah akan terjalin keharmonisan, tersadarkan akan eksistensi sebagai hamba. Ketika dalam shaf yang sama bersama hamba Allah yang lain, dengan niat, tujuan yang disembah sama. Dengan begitu semakin sadar akan hamba Allah. Bila mau hitung-hitungan pahala, pahala berjamaah dua puluh tujuh derajat lebih besar daripada shalat sendiri. Subhanallah.

Untuk itu saudaraku, mari kita prioritaskan shalat berjamaah di masjid dengan tepat waktu. Jangan manjakan diri dengan kemalasan karena sesunguhnya malas itu datangnya dari setan yang sekali terkelabui, terjerat selamanya. Wallahu ‘alam bishawab.

September 26, 2008 at 6:28 am Tinggalkan komentar

Kepompong Ramadhan

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Pernahkah sahabat melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang binatang melata ini tampak menjijikan, bahkan menakutkan. Namun, masa hidup ulat ternyata tidak lama karena ia akan masuk ke dalam kepompong, lalu beberapa hari setelah itu ia pun keluar dan menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Siapa yang tidak menyukai bentuk dan penampilan kupu-kupu dengan sayapnya yang beraneka hiasan alami? Sebagian orang bahkan mencari dan mengoleksinya baik sebagai hoby ataupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.

Semua ini menandakan, betapa teramat mudahnya bagi Allah mengubah segala sesuatu. Dari sesuatu yang menjijikan, buruk dan tidak disukai menjadi sesuatu yang indah dan membuat orang senang memandangnya, melalui suatu proses perubahan (dalam hal kupu-kupu tersebut berupa proses metamorfosa) yang sudah diatur dan ditentukan ukurannya oleh Allah. Baik dalam bentuk aturan atau hukum alam (sunatullah) ataupun berdasarkan hukukm yang telah disyariatkan kepada manusia (Al Quran dan Al Hadist).

Demikian pula bila kita masuk ke dalam “kepompong” Ramadhan. Jikalau segala aktivitas kita cocok dengan ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Allah, niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan, yakni menjadi manusia yang berderajat muttaqin, yang memiliki akhlak yang indah dan mempesona.

Inti dari ibadah Ramadhan ternyata adalah melatih diri agar menguasai hawa nafsu. Allah berfirman,”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungghnya surgalah tempat tinggalnya.”[Q.S. An Naziat ( 79) : 40 – 41]. Jelaslah, salah satu kunci surga adalah kesanggupan menahan diri dari hawa nafsu yang tidak diridhai Allah.

Memang, selama ini kita mengalami kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu karena ada “pelatih” lain yang ikut membina hawa nafsu ke arah yang tidak disukai Allah. Dialah syetan yang sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita karena memang hanya itulah tugasnya. Apalagi syetan memiliki dimensi yang sama dengan hawa nafsu, keduanya sama-sama tidak terlihat.

“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu karena sesungguhnya syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” Demikian firman Allah [QS. Faathir (35) :6].

Akan tetapi, kita bersyukur karena pada bulan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk, sehingga kita diberi kesempatan sepenuhnya untuk bisa berlatih dan mengendalikanv hawa nafsu. Karenanya, kesempatan ini tidak boleh kita sia-siakan. Segala aspek hawa nafsu harus kita kendalikn dengan sekuat-kuatnya agar ketika nanti syetan dilepas kembali, hawa nafsu itu telah tunduk kepada kita. Dengan demikian, hidup kita pun hanya sepenuhnya dijalani dengan hawa nafsu yang diridhai-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia.

Bila sudah demikian, maka shaum pun hendaknya kita tingkatkan. Tidak hanyamenahan hawa nafsu perut dan seksual saja, tetapi juga semua anggota badan kita lainnya.

Mata harus kita latih agar shaum dari segala sesuatu yang diharamkan. Karena, hawa nafsu mata selalu ingin melihat yang indah-indah, termasuk yang diharamkan Allah. Selama Ramadhan kita didik mata ini agar dapat berpaling dari segala hal yang dilarang agama. Sebaliknya, kita latih agar selalu senang membaca Al Qur’an, mengkaji buku-buku agama, serta memandang hal-hal yang dapat mengingatkan kita akan kebesaran Allah.

Telinga mesti kita jaga agar sanggup shaum dari pendengaran yang sia-sia, musik-musik maksiat, obrolan sia-sia, atau mendengar aib-aib orang lain. Karena, setiap kali kita mendengarkan sesuatu, pastilah menghabiskan waktu, sedangkan waktu adalah modal utama hidup kita. Apalagi waktu pada bulan Ramadhan amatlah terbatas. Belum tentu kita masih hidup pada Ramadhan tahun beriktunya.

Jadi, pendengaran ini hanya akan kita pergunakan untuk mendengarkan sesuatu yang akan menjadi bekal kepulagnan kita ke akhirat kelak. Kita didik agar telinga kita selalu merasa senang dan nikmat mendengarkan ayat-ayat Allah ataupun tausyiah-tasyiah yang mengajak ke jalan-Nya. Kalaupun kita menyukai lagu-lagu, maka yang kita nikmati adalah lagu-lagu (nasyid) yang Islami, yang menyentuh relung-relung imani kita.

September 26, 2008 at 6:24 am Tinggalkan komentar

PAHALA MEMBANTU TETANGGA DAN ANAK YATIM

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, tertidur di Masjidil Haram. Dia telah bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit lalu yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?”
Jawab yang lain, “Enam ratus ribu.”
Lalu ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima ?”
Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq, dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.”

Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat ke Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq itu sehingga ia sampailah ke rumahnya. Dan ketika diketuknya pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya namanya.
Jawab orang itu, “Muwaffaq.”
Lalu abdullah bin Mubarak bertanya padanya, “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai darjat yang sedemikian itu?”
Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji tetapi tidak dapat kerana keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat wang tiga ratus diirham dari pekerjaanku membuat dan menampal sepatu, lalau aku berniat haji pada tahun ini sedang isteriku pula hamil, maka suatu hari dia tercium bau makanan dari rumah jiranku dan ingin makanan itu, maka aku pergi ke rumah jiranku dan menyampaikan tujuan sebenarku kepada wanita jiranku itu.

Jawab jiranku, “Aku terpaksa membuka rahsiaku, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tanpa makanan, kerana itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba bertemulah aku dengan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong sebahagiannya dan bawa pulang untuk masak, maka makanan ini halal bagi kami dan haram untuk makanan kamu.”
Ketika aku mendegar jawapan itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil wang tiga ratus dirham dan keserahkan kepada jiranku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan wang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam jagaannya itu.

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku.” Kata Muwaffaq lagi.
Demikianlah cerita yang sangat berkesan bahwa membantu jiran tetangga yang dalam kelaparan amat besar pahalanya apalagi di dalamnya terdapat anak-anak yatim.
Rasulullah ada ditanya, “Ya Rasullah tunjukkan padaku amal perbuatan yang bila kuamalkan akan masuk syurga.”
Jawab Rasulullah, “Jadilah kamu orang yang baik.”
Orang itu bertanya lagi, “Ya Rasulullah, bagaimanakah akan aku ketahui bahwa aku telah berbuat baik?”

Jawab Rasulullah, “Tanyakan pada tetanggamu, maka bila mereka berkata engkau baik maka engkau benar-benar baik dan bila mereka berkata engkau jahat, maka engkau sebenarnya jahat.”

September 26, 2008 at 5:05 am Tinggalkan komentar

Puasa Menghancurkan Kesombongan

Puasa yang dilakukan dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mampu menghancurkan nafsu-nafsu jahat dan meruntuhkan kesombongan sehingga menjadi tunduk kepada kebenaran dan rendah hati kepada sesama, karena banyak makan, minum dan berhubungan suami isteri membawa kepada sifat sombong, congkak, mau menang sendiri dan merasa tinggi atas orang lain dan tidak mau menerima kebenaran. Ketika seseorang bernafsu untuk makan, minum dan berhubungan suami isteri maka dia akan berusaha untuk memenuhinya, dan apabila telah mampu mendapatkannya dan memenuhinya maka akan timbul perasaan bangga yang tercela yaitu yang berdampak kepada kecongkaan dan kesombongan yang semua itu menjadi penyebab kebinasaannya. Jadi, diantara hikmah puasa adalah menghancurkan kesombongan sehingga seseorang menjadi tawadhu’ dan rendah hati. Allah dan juga manusia membenci orang-orang yang sombong dan mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan rendah hati.[www.hatibening.com]

September 26, 2008 at 5:01 am Tinggalkan komentar

Pahlawan Neraka

Suatu hari satu pertempuran telah berlaku di antara pihak Islam dengan pihak Musyrik. Kedua-dua belah pihak berjuang dengan hebat untuk mengalahkan antara satu sama lain. Tiba saat pertempuran itu diberhentikan seketika dan kedua-dua pihak pulang ke markas masing-masing.
Di sana Nabi Muhammad S.A.W dan para sahabat telah berkumpul membincangkan tentang pertempuran yang telah berlaku itu. Peristiwa yang baru mereka alami itu masih terbayang-bayang di ruang mata. Dalam perbincangan itu, mereka begitu kagum dengan salah seorang dari sahabat mereka iaitu, Qotzman. Semasa bertempur dengan musuh, dia kelihatan seperti seekor singa yang lapar membaham mangsanya. Dengan keberaniannya itu, dia telah menjadi buah mulut ketika itu.

“Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menandingi kehebatan Qotzman,” kata salah seorang sahabat.
Mendengar perkataan itu, Rasulullah pun menjawab, “Sebenarnya dia itu adalah golongan penduduk neraka.”
Para sahabat menjadi heran mendengar jawapan Rasulullah itu. Bagaimana seorang yang telah berjuang dengan begitu gagah menegakkan Islam boleh masuk dalam neraka. Para sahabat berpandangan antara satu sama lain apabila mendengar jawapan Rasulullah itu.
Rasulullah sedar para sahabatnya tidak begitu percaya dengan ceritanya, lantas baginda berkata, “Semasa Qotzman dan Aktsam keluar ke medan perang bersama-sama, Qotzman telah mengalami luka parah akibat ditikam oleh pihak musuh. Badannya dipenuhi dengan darah. Dengan segera Qotzman meletakkan pedangnya ke atas tanah, manakala mata pedang itu pula dihadapkan ke dadanya. Lalu dia terus membenamkan mata pedang itu ke dalam dadanya.”

“Dia melakukan perbuatan itu adalah kerana dia tidak tahan menanggung kesakitan akibat dari luka yang dialaminya. Akhirnya dia mati bukan kerana berlawan dengan musuhnya, tetapi membunuh dirinya sendiri. Melihatkan keadaannya yang parah, ramai orang menyangka yang dia akan masuk syurga. Tetapi dia telah menunjukkan dirinya sebagai penduduk neraka.”
Menurut Rasulullah S.A.W lagi, sebelum dia mati, Qotzman ada mengatakan, katanya, “Demi Allah aku berperang bukan kerana agama tetapi hanya sekadar menjaga kehormatan kota Madinah supaya tidak dihancurkan oleh kaum Quraisy. Aku berperang hanyalah untuk membela kehormatan kaumku. Kalau tidak kerana itu, aku tidak akan berperang.”

Riwayat ini telah dirawikan oleh Luqman Hakim.

September 26, 2008 at 4:59 am Tinggalkan komentar

Older Posts


Ayat Al-Qur’an

Hadits Pilihan

Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahalanya, dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun. (HR. Tirmidzi)

Waktu

Asmaul Husna

Asmaul Husna

RSS Muslim.or.id

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

RSS Al-Ikhwan.com

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

RSS Kisahislam.com

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

RSS Kabarislam.wordpress.com

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Blog Stats

  • 40.173 hits
IP